Ide untuk menulis ini terbersit setelah saya
mengikuti kegiatan Forum
Penulis Bacaan Anak yang sedang berulang tahun yang ke-3. Bertempat di Bandung
Indah Plaza, pada hari Sabtu 25 Mei 2013 dalam kegiatan ngobrol
santai dengan mengusung tema “Antara Buku, Blog, dan Personal Branding”.
Pengisi Acara tersebut adalah:
Host: Ali Muakhir dan Benny R
1). Ary Nilandari (PaBerLand)
2). Bang Aswi (Warung Bloger)
3). Indah Juli (KEB)
4). Indari Mastuti (IIDN)
Penampilan Khusus: Amira (Putri Wylvera) dan Rina (Putri Citra Savitri)
1). Ary Nilandari (PaBerLand)
2). Bang Aswi (Warung Bloger)
3). Indah Juli (KEB)
4). Indari Mastuti (IIDN)
Penampilan Khusus: Amira (Putri Wylvera) dan Rina (Putri Citra Savitri)
Namun, mengapa baru sekarang saya memublikasikannya?
Jawabannya sederhana. Saya ingin (riset) bertanya dulu kepada beberapa teman rekan
guru sukwan maupun honor.
Apa sih yang kalian tahu tentang personal
branding? Beberapa dari rekan saya hanya mesem, dan senyum-senyum.
Berbeda dengan ketika saya tanya, kalau multitasking tahu enggak? Oh itu, yang bisa mengerjakan ini
itu, mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya, bisa melakukan lebih dari tiga
pekerjaan sekaligus dalam satu waktu, dll.
Saya ikut terbawa suasana senyum-senyum. Tampaknya, di
kalangan kita lebih terkenal multitasking daripada personal branding. Kita
memang harus jujur mengakui, mau tidak mau, guru itu sebenarnya multitasking.
Guru bukan cuma mengajar saja, harus membuat perencanaan, melaksanakan
pembelajaran, menilai, evaluasi, dll. Sebenarnya sih cakupannya itu-itu juga (bidang
pendidikan).
Lebih unik lagi, ketika kita mengobrol tentang personal
branding. Respon yang saya dapat berbeda-beda begitu saya menyebutkan kalau personal branding itu pencitraan atau
cara pandang orang lain terhadap kita, kita ingin dikenal sebagai apa oleh
orang lain?
Hampir semua jawabannya setipe dengan saya. Saya ya ingin
menjadi SAYA. Saya ya SAYA. (Gubrag. )
Saya mencoba mencari cara lain. Meski dari beberapa rekan
sukwan dengan honor tak seberapa, bahkan ada yang tidak mendapat honor sama
sekali, namun beberapa dari mereka sukses sebagai pengusaha dengan bidang yang
berbeda.
Kan, kamu sudah punya usaha yang sukses, terus
ngapain masih ngajar di sekolah luar biasa? Kan, honornya jauh, ratusan kali
lipat dari penghasilan kamu sebagai pengusaha?
Voila! Jawabannya berbeda-beda. Ada yang cari status supaya
dapat pengakuan dari masyarakat sebagai guru, pengabdian untuk sesama,
menyampaikan kembali ilmu yang sudah dimiliki, dll.
Harus saya akui diakhir perbincangan dengan mereka. Tampaknya,
mereka kurang peduli dengan personal branding. Mereka lebih peduli dengan apa
yang harus mereka lakukan.
Sejujurnya, termasuk saya sendiri. Saya lebih peduli dengan
pengembangan kecerdasan anak (multiple intelegensi) yang
konon para ahli telah menemukan 150 jenis kecerdasan pada manusia.
Padahal yang saya kenal di bangku kuliah sampai sekarang ada
sembilan kecerdasan.
1.
Inteligensi
linguistik ( Linguistic intelligence)
2.
Inteligensi
matematis-logis ( Logical – mthematical intelligence )
3.
Inteligensi ruang-visual (Spatial intelligence
)
4.
Inteligensi kinestetic-badani (bodily-
kinesthetic intelligence )
5.
Inteligensi musikal
( Musical intelligence )
6.
Inteligensi
interpersonal ( Interpersonal intelligence )
7.
Inteligensi intrapersonal ( Intrapersonal
intelligence )
8.
Inteligensi
lingkungan / naturalis ( Naturalist intlligence )
9.
Inteligensi
eksistensial ( Exixtential intlligence )
Berdasarkan pengalaman saya secara pribadi, personal branding
terbangun setelah saya melakukan sesuatu. Semisal, ketika saya mendapatkan
permintaan menulis novel bersetting luar negeri, saya meminta pendapat seorang
guru baru yang benar-benar suka sekali dengan negara yang sedang saya tulis.
Hasilnya, setelah guru baru tersebut membaca tulisan saya, ada
satu bahasa asing dari luar negeri tersebut yang sering dia ucapkan. Arti bahasa
Indonesianya sederhana, ya ampun!
Perlahan, mereka di sekitar saya pun bertanya dan tahu kalau
saya menulis novel. Mulai dari guru satu sekolah, satu yayasan, ketua yayasan,
hingga ke pengawas gugus. Yang saya rasakan adalah malu ketika pengawas gugus
dari dinas mengatakan kalau kita punya penulis fiksi. Hehe....
Padahal, saya sendiri belum tahu, akankah novel tersebut
terbit atau tidak? Sebagai penulis yang sering berinteraksi dengan penulis dan
juga dengan kalangan penerbit, saya mendapatkan banyak pengetahuan. Proses penerbitan
novel bukanlah hal mudah.
Namun, dari hal tersebut saya benar-benar belajar, personal
branding bisa saja orang lain yang melabeli setelah mengetahui siapa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.