Anak Lelaki yang Hebat
Oleh Susanti Hara Jv
Sepulang sekolah,
Didi melemparkan perlengkapan sekolahnya ke sembarang tempat. Rumah Didi berantakan,
mirip kapal pecah. Selesai makan, Didi pasti langsung pergi bermain.
Bu Hani, ibunya Didi,
sudah ratusan kali mengeluh dan mengingatkan pentingnya kebersihan. Didi selalu
mengacuhkan nasihat ibunya.
Suatu hari, Bu Nia, majikan
Bu Hani, memberitahukan keinginannya kepada Bu Hani. Dan Bu Hani
menyampaikannya kepada Didi.
"Didi, mulai
besok, Ibu Nia meminta kamu ke rumahnya. Kamu mau, kan?" pinta Bu Hani.
"Enggak,
ah," tolak Didi.
"Lo,
kenapa?" Bu Hani heran.
"Nanti, Didi
pasti disuruh bekerja seperti Ibu. Iya, kan?” Didi ketus. “Rugi dong. Didi nggak
bisa main."
"Justru,
sebaliknya. Di sana banyak mainan. Kamu cuma menemani Rendi. Mau, ya?" Bu
Hani memohon.
Berat hati, Didi
mengangguk setuju.
Keesokan harinya.
Sepulang sekolah, di ruang tengah rumah Didi sudah ada Pak Ilham, sopir pribadi
keluarga Ibu Nia.
Seenaknya saja Didi
masuk rumah, tanpa mengucapkan salam. Didi melemparkan tas, sepatu, dan seragam
sekolahnya di sembarang tempat.
Wajah Bu Hani merah
padam, sudah siap mengomel. Saat teringat ada tamu di rumahnya, Bu Hani menahan
kekesalannya. Menjaga perasaan tamu agar tidak tersinggung.
"Bu, aku sudah
siap!" seru Didi.
Bu Hani dan Didi
segera menaiki mobil. Pak Ilham mengendarainya sampai di rumah bertingkat tiga.
Didi mengamati seisi
rumah yang baru pertama kali diinjaknya. Ia berdecak kagum. Di dalam rumah ini,
tidak ada satu pun barang berantakan. Buku-buku tertata rapi di dalam lemari
khusus. Hiasan dinding berjajar teratur. Pakaian menggantung pada tempatnya
"Ini pasti
Didi," sapaan ramah seorang anak lelaki, sambil menjulurkan tangannya ke
arah Didi. "Nama saya Rendi."
Rendi langsung
mengajak Didi ke kamarnya. Aroma pengharum ruangan menyegarkan. Rasanya, Didi
ingin tinggal di tempat ini. Didi meraba tempat tidur Rendi. Halus dan lembut
di tangannya.
“Didi, kamu sudah
makan belum?” tanya Rendi.
“Belum,” jawab Didi.
Langkah cepat, Rendi mengajak
Didi menuju ruang makan. Rendi mengajak Didi melafalkan doa sebelum makan. Didi
bengong. Selama ini, sebelum makan, Didi tidak pernah berdoa dulu. Selesai
berdoa, keduanya menikmati sepiring nasi dan setengah mangkuk soto ayam.
"Aku selalu suka
masakan Bu Hani," puji Rendi. "Nyam, nyam, enak!"
"Aku juga suka
masakan Ibu," ungkap Didi.
Baru kali ini Didi
menyadari, Ibunya baik sekali. Sebelum pergi bekerja, pasti sudah menyiapkan
semua keperluan Didi. Tetapi, belum pernah sekalipun Didi memuji Ibunya. Didi
makan sambil merenung, hingga makanannya habis.
"Kok diam
saja?" ujar Rendi. "Yuk, kita main keluar."
Di luar dugaan, Rendi
mencuci peralatan bekas makannya terlebih dahulu. Dengan terpaksa, Didi mengikutinya.
Selesai membereskannya,
Rendi mengajak Didi menuju gudang. Suara pintu berderit mengagetkan Didi. Matanya
terbelalak. Diamatinya susunan tumpukan karung berisi mainan.
Rendi meraih karung
mengembung. Karung-karung di dekatnya tertarik. Dan, gudang menjadi berantakan.
Rendi
memberikan dua buah pesawat mainan ke tangan Didi. "Tunggu, kita rapikan
ruangan ini dulu!" seru Rendi.
“Rendi, kenapa kamu
membereskannya sendiri?” tanya Didi, bingung. “Bukankah ada Pak Ilham sama Ibu?”
"Papa bilang,
anak lelaki harus hebat,” ujar Rendi, bangga. “Laki-laki itu calon pemimpin.
Papa sering mengingatkan aku. Berusahalah semampunya! Kalau kita sudah tidak
bisa, baru meminta bantuan orang lain."
Didi murung, teringat
ayahnya yang meninggal tiga tahun lalu. Sekarang, Didi sudah kelas empat SD.
Rendi beruntung masih memiliki ayah, pikir Didi.
"Sudah beres. Yuk,
kita ke lapangan," ajak Rendi.
Didi mengamati
sekitar lapangan. Tempatnya luas. Di pinggir lapangan ditanami pepohonan. Aneka
tanaman hias tampak beragam.
"Wah, ramai
sekali," ujar Didi.
"Kalau sore,
anak-anak komplek selalu berkumpul. Ayo, aku kenalkan kamu sama
teman-temanku." Rendi menarik pelan tangan Didi.
Hari pertama di
Komplek Perumahan Elit, Didi langsung berteman dengan Rendi, sekaligus temannya
Rendi. Senyum terkembang, Didi bahagia. Teman-teman barunya ramah, santun, dan
mudah akrab.
Pesawat mainan remote control menabrak dinding benteng,
perbatasan Komplek Perumahan Elit, dan komplek lainnya. Anak-anak di lapangan
tertawa bersama. Mereka geli melihat pesawat berputar-putar di udara.
Hingga tiba saatnya
Didi pulang ke rumah, keakrabannya bersama teman-teman barunya masih membayang.
Senangnya, berteman dengan Rendi, pikir Didi.
Memasuki kamarnya,
Didi teringat kamar Rendi. Kedua tangannya meraba tempat tidurnya.
“Ih, kasar. Banyak
debu. Sumpek,” gumam Didi. Ia mengambil sapu lidi di sudut ruangan. Disapunya
kasur hingga bersih.
“Ah, nyamannya. Mulai
besok, aku mau merapikan seisi rumahku, ah,” janji Didi. “Aku nggak mau kalah
sama Rendi. Aku mau menjadi anak lelaki yang hebat.”
waaaah.... keren euy dimuat :D selamat ya teh :)) mudah-mudahan makin produktif, aamin...!
BalasHapus