Agak awal datang ke sekolah. Langsung naik ke atas, lantai dua, Rombel 1,
kelas 1 SDLB-B dan kelas 2 SDLB-B. Tanpa berkeliling pandang langsung turun
lagi ke lantai bawah. Berinteraksi bersama siswa, bersih-bersih halaman dan
lain-lain.
Betapa terkejutnya ketika seorang guru memanggil namaku. Ia bertanya,
“Komputer di atas ke mana?”
Aku menggelengkan kepala, “Nggak tahu, Pak. Siapa tahu ada di ruangan
kantor?”
Tanpa berlama-lama, kami mengecek ruangan kantor. Komputer kelas atas tetap
tidak ketemu. Kita pun berkeliling ke semua ruangan di sekolah. Hasilnya nihil.
Komputer raib. Tidak bisa ditemukan.
Setelah kepala sekolah dan guru-guru berkumpul, investigasi pun dijalankan.
Semua mengamati kemungkinan bagaimana seorang pencuri bisa masuk ke sekolah.
Berdasarkan dugaan sementara, dari jejak kotoran dan tapak kaki, kita tahu
bagaimana pencuri itu bisa menggondol komputer bersama CPU-nya. Dugaannya,
pencuri naik melalui atap sekolah. Pinggiran genting menyambung ke kelas atas.
Parahnya, pinggiran genting tersebut langsung tersambung dengan pintu kelas
atas.
Dugaan terus berlanjut. Hal yang tak kuduga. Waktu aku memasuki Rombel 1,
aku tak memerhatikan hal ini. Hingga guru-guru menunjukkan jejak kaki menaiki
meja guru yang terhubung ke jendela. Kemudian, kotoran dan jejak kaki di
jendela dari kaca.
Ampun! Aku memegangi kepalaku. Betapa mudahnya akses pencuri mengambil
barang milik sekolah. Padahal, settingan kelas itu dimaksudkan untuk mempermudah
aku mengajar. Meja yang kusimpan di pojok dekat jendela supaya ruangan terlihat
luas. Dan, anak-anak lebih leluasa menggunakan ruangan.
Kehilangan satu unit komputer di sekolah meninggalkan jejak yang nempel
terus di kepalaku. Betapa tega pengambilnya. Apa mereka nggak mikir? Barang
yang mereka ambil itu fasilitas umum. Sarana belajar bagi anak-anak
berkemampuan khusus.
Pengamatan berlanjut ke luar jendela. Di atas atap basah berlumut terdapat
beberapa jejak kaki. Jejak pencuri yang membekas di otak dan pikiranku. Karena
pencurian terjadi bukan hanya di sekolahku saja. Sudah beberapa teman guru dari
sekolah lain menceritakan kehilangan komputer dan perlengkapan di sekolah
mereka.
Bahkan, dalam waktu seminggu ini aku mendengar cerita serupa berupa
kehilangan. Bukan hanya tentang kehilangan komputer atau notebook saja. Motor
yang cukup jelas terlihat pandangan mata pun bisa hilang.
Aku menyayangkan mereka yang tidak mau melaporkan kehilangan benda milik
mereka. Bagaimana aparat keamanan mau melacaknya jika tidak ada laporan secara
resmi?
Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan pemikiran mereka. Ada yang bilang,
kalau urusan dengan polisi itu ribet. Harus lapor, begini terus begitu. Memakan
waktu lama. Sudah ketemunya lama, kalau ketemu harus nebus barangnya dengan
sejumlah uang, dengan alasan biaya penyelidikan.
Duh, duh, duh... begitu ya alurnya? Ribet plus melelahkan hati dan juga
pikiran. Ternyata, lebih baik menjaga barang milik kita secara maksimal,
daripada harus kehilangan yang meninggalkan jejak menyakitkan. Selain itu,
muncul banyak kekhawatiran jadinya. Rasanya kurang nyaman saat meninggalkan tas
pada jam istirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.