Membaca tentang kesehatan menarik perhatianku. Apalagi
ada seminarnya. Siapa sih yang tidak mau
“menjadi dokter untuk diri sendiri dan
keluarga”?. Maka, usai jam sekolah
aku pun bergegas menuju tempat seminar.
Berhubung datang terlambat, tak heran rasanya jika di
hadapanku peserta sudah berkumpul. Bahkan, acara pun sudah di mulai. Aku
langsung mengikuti jalannya seminar. Kusimak semua pemaparan pengisi acara.
Di sela acara seorang akhwat (panggilanku, karena dia
jilbaber atau berjilbab tertutup, lebar dan berpakaian gamis) mengajakku
mengobrol.
Pada peserta lain di sekitarnya ia bercerita datang
bersama suaminya. Begitupun padaku, ceritanya sama. Betapa beruntungnya ia,
pikirku. Bayangkan saja, aih mesranya berdua ke mana-mana. Ups... J
Waktu praktik, pembicara memberikan contoh pengobatan.
Tak sengaja pandanganku tertuju kepada akhwat itu dan lelaki (ikhwan), yang
katanya suaminya. Ntah mengapa kurasakan ada sesuatu yang janggal. Meski aku
belum menikah, tapi rasanya aku bisa membedakan yang sudah menikan dan belum
menikah.
Dalam acara tersebut kulihat ikhwannya agak menjaga
jarak. Meskipun, memang dalam kegiatan tersebut lelaki dan perempuan barisannya
terpisah. Namun, masih bisa saling melihat satu sama lain karena tidak ada
penghalang.
Lebih dari sepuluh ibu-ibu di depan, belakang, kiri, dan
kananku mengatakan mereka datang bersama suaminya. Dan, keakraban mereka
sebagai pasangan itu terlihat saat mereka shalat Ashar. Mereka bercengkerama
begitu dekat layaknya pasangan suami istri.
Akhwat yang bercerita sudah menikah tadi tidaklah demikian.
Sebelum dan usai shalat ashar kuperhatikan ia berjauhan dengan ikhwannya.
Pikirku pun hadir dan bertanya lebih hanya kepada diri sendiri. Ada apa dengan
mereka? Mengapa mereka berjauhan? Pasti ada apa-apanya?
Setuntasnya acara aku bergegas hendak pulang. Akhwat itu
turun ke lantai bawah bersamaku. Setelah kami berada di luar tempat seminar, ia
memanggilku, mengajakku berbincang.
Dalam perbincangan itu terkuaklah suatu rahasia yang bisa membuat
mulutku mengangan lebar andai tak sadar.
Astaga! Ampun! Ia bilang ia belum menikah. Lelaki yang ia
tunjukkan tadi insya Allah memang calon suaminya. Bleuk... Ah, bodohnya daku,
mengapa aku harus berpikiran seperti tadi. Kupikir mereka pasangan berbahagia.
Uh, ternyata mereka belum menikah. J
Sang akhwat terus bercerita. Ia sengaja berbohong karena
takut. Menurutku, mungkin lebih ke arah khawatir. Kebanyakan peserta seminar
jilbaber. Termasuk ia. Dari pakaiannya saja sudah beda jauh denganku. Aku
memakai jilbab yang ditalikan ke belakang di leherku. Kalau ia, beuh... asli, jilbabnya lebar menutupi
pakaiannya yang serba lebar juga.
Percakapan kami ditutup dengan saling bertukar alamat di
dunia maya. Katanya, ia ingin tetap berkomunikasi denganku. Mungkin, ia hanya
ingin punya teman sharing, pikirku.
Bukahkah manusia Indonesia jumlahnya banyak. Apalagi ia penyuka hal berbau
Japanesse. Bahkan bahasa Jepangnya saja mantap saat mengajakku berbincang.
Pandangan akhirku di parkiran seminar ini terpaku pada
kepulangannya. Sang ikhwan membonceng akhwat dengan motornya. Sementara aku
tidak tahu harus berkata apa lagi. Saat akhwat bercerita aku hanya menyimak.
Tidak mungkin di pertemuan pertamaku dengannya aku langsung mengomentari ini
dan itu.
Di dalam angkutan umum yang mengantarkan kepulanganku,
aku lebih banyak ber-kontemplasi.
Haruskah membohongi orang lain dengan yang namanya pernikahan? Apa jadinya jika
beberapa dari peserta kemudian tahu kebohongannya padahal ia seorang jilbaber? Apakah
di setiap acara ia melakukan kebohongan demikian?
Dan, sesungguhnya aku makin bertanya kepada diriku.
Seberapa banyakkah kebohonganku? L
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.