Pertanyaan ini tidak
hanya datang sekarang saja. Mungkin kalau ada kejadian serupa, tanya ini akan
hadir kembali. Mengingatnya saja perutku bisa mual mendadak. Sekarang saja yang
ingin kutulis. Lainnya, ntahlah, mungkin kutuangkan ke dalam tulisan, atau
mungkin akan kuabaikan.
Pikir punya pikir hingga
tak ada habisnya. Aku berkaca pada diri. Seorang bawahan melihat kinerja
sekelompok atasan. Atasan biasanya dijadikan cermin. Begitu, kan, katanya.
Lantas, bagaimana aku bisa bercermin dengan jernih jika sekelompok atasan
kuanggap tak dapat dijadikan cermin. Aih, cerminku BURAM!
Duit memang sensitif.
Gara-gara duit, seseorang bisa melakukan apa saja. Ok, sudah menjadi rahasia
umum. Bukan di rahasia umum masalahnya. Ketika ada NAMA yang berhak mendapat
duit, lantas sekelompok atasan itu mengambil hak atas NAMA tanpa izin, kemudian
membagikan duit itu kepada orang yang dianggap mereka berhak, well... bagaimana
menurutmu?
Sorry, Dir! Ibarat kata,
NAMA memiliki sertifikat tanah atas namanya. Kelompok atasan itu mengambil alih
penggunaan tanah tanpa membicarakan kepada NAMA. Sudah bisa menebak bukan
bagaimana perasaan NAMA?
Duhai sekelompok pemimpin,
tidak bisakah mengajak NAMA berbicara dari hati ke hati. Apa salahnya ngomong
dulu kepada NAMA. Sebagai seorang Gue yang mengenal NAMA, Gue yakin NAMA punya hati
untuk berbagi.
Sadar nggak sih, kalau
atasan melakukan “kekerasan secara lembut”, mereka sudah memberikan contoh
negatif. Ya, meskipun mereka bisa berdalih ini atau itu. Tapi, haruskah bawahan
Cuma manggut-manggut doang. Mana yang namanya “demokrasi”....
#Hanya berbagi cerita
tanpa maksud lain.
Bandung,
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.