Judul :
Laila
Penulis : Abrar Rifai
Desain Sampul : Izzudin Abdur Rahim
Penata teks : Ide Kreatif Crew
Penerbit : PT. Aksara Bermakna
Terbit : Cetakan 1, Agustus 2012
Tebal : 242 halaman: 13,3 X 20 cm
ISBN : 978-602-18755-0-6
Pada
bagian kover depan tertulis endorsement
dari Mbak Helvy. Tentu ini menjadi sesuatu yang sangat menarik. Apalagi di atas
judul Laila tertulis jelas Novel inspiratif.
Laila adalah sebuah cerita yang
akan membawa kita pada ketulusan cinta. (Helvy Tiana Rosa)
Begitu
melihat kover seorang akhwat (perempuan) yang begitu teduh, harapan saya begitu
tinggi kalau novel ini akan bercerita tentang perjuangan seorang akhwat.
Apalagi di kover belakang terdapat 5 endorsement
menakjubkan dari mereka yang sangat terkenal. Saya mengira novel ini akan
mengisahkan perjalanan kehidupan Laila dari awal hingga akhir kisah.
Di
bagian awal memang menceritakan Laila sebagai seorang pengamen. Melalui
pemaparan ekspositoris penulis menguraikan tentang Laila.
Laila
adalah salah satu anak jalanan yang terlahir karena hubungan bebas antara
lelaki dan perempuan jalanan yang banyak terdapat di berbagai terminal di
Surabaya. Gadis itu tak pernah tahu siapa ayahnya. Ibunya juga tak bisa
memastikan siapa ayah Laila di antara lelaki yang pernah bergaul dengannya. Tak
seorangpun dari mereka yang dikenalkan padanya oleh ibunya, mau mengakui Laila
sebagai anak. Jadilah Laila dikenal sebagai anake
wong akeh (anaknya banyak orang), anak yang tidak jelas bapaknya. – hal.3—
Saya
benar-benar tergiring untuk tahu akan seperti apa alur cerita kehidupan Laila.
Namun, begitu membaca bab per bab berikutnya, lebih banyak menceritakan
keseharian Umar bersama keluarganya dan juga perkuliahannya. Terutama kegelisah
Umar, seorang mahasiswa, putra pengusaha dari seorang ayah berlatar pendidikan
pesantren.
Umar
yang begitu mencintai Laila, ingin memperistrinya, meski Laila telah
menolaknya, namun Umar yakin Laila sebenarnya mencintainya. Sayangnya Umar
tidak dapat menghubungi Laila lagi. Umar berusaha mencarinya meski berbuah
kekecewaan. Umar yang tadinya dikenal sebagai mahasiswa periang berubah jadi
pemurung.
Membaca keseluruhan novel ini seakan sedang
menikmati sepiring gado-gado super lengkap. Semua cerita ada, tertuang dalam
novel ini. Yang pasti bumbunya satu, cinta.
(Eh, bisa ditambah perjuangan, istiqomah, dan lainnya supaya makin sedap). Saya
seakan diajak berkeliling menikmati panasnya Surabaya lengkap dengan suasana
keagamaannya.
Rangkaian
cerita dalam novel ini terasa unik. Lompat-lompat menceritakan kebersamaan Umar
dengan keluarga dan teman kampusnya. Ketika bersama Intan, adiknya, Umar adalah
sosok yang selalu mengalah, menghindari perdebatan.
Ketika
bersama Farah, kakaknya, Umar saling berbagi cerita. Sebagai penikmat bacaan
saya suka sekali dengan kedekatan dan keterbukaan adik kakak yang sama-sama
dewasa ini. Apalagi ketika Farah sedang ta’aruf dan salah paham kalau calon
suaminya itu penganut poligami, Umar hadir sebagai tempat berbagi.
Sampai-sampai kedua adik kakak ini ke Taman Safari di Prigen berdua untuk
melepas penat.
Dalam
kisah ini ayah mereka berpoligami. Meski awalnya Umar dan Farah menolak tidak
secara terang-terangan, namun akhirnya mereka bisa menerima kehadiran Tante
Salma, istri baru ayahnya saat petaka Tretes mendekatkan semua anggota keluarga.
Intan yang sebenarnya anak yang baik terseret arus pergaulan yang menyimpang.
Hingga bolos sekolah dan kabur.
Berdasarkan
informasi yang mereka dapatkan, Intan bersama Khairul, temannnya, sekaligus
Putra Pak Barjo, rival bisnis ayah Umar, Intan dan Khairul pergi ke sebuah
villa besar milik Pak Barjo yang ada di Tretes. Tempat yang sekarang Pak Barjo
tinggali. Sayangnya, Umar dan ayahnya tidak menemukan Intan di villa ini. Intan
dan Khairul mengalami kecelakaan sepeda motor dalam perjalanan hingga Intan dan
Khairul sama-sama dirawat di ICU. Intan geger otak berat.
(Tuh, kan, ceritanya lompat-lompat. hehe)
Sejak
kejadian Petaka Tretes, Umar menjadi bos PT. Rembulan Terang menggantikan
ayahnya. Intan yang memerlukan perhatian menjadi fokus utama ayahnya untuk
merawat putrinya. Hingga menyerahkan perusahaan kepada Umar. Tentu saja dibantu
oleh orang-orang kepercayaan ayahnya.
Sebagai
seorang bos, Umar menggagas aksi sosial pertamanya. Dengan sponsor penuh perusahaannya,
Umar mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) antar mahasiswa se-Indonesia.
Umar menggandeng LDK-LDK semua kampus, baik negeri maupun swasta di Surabaya
sebagai panitian pelaksana.
Dan
dalam perhelatan inilah Umar bertemu Hidayah Nazilah Mahabbah, gadis dari
Jombang, juara 1 tilawah. Suara hati Umar mendesaknya bahwa itu adalah Laila.
Tapi, rasio akal tetap mengedankan realita bahwa gadis itu bukanlah Laila.
“Kalau kamu mau memastikan ia Laila atau
bukan, lihat saja saat penampilannya. Suaranya sama gak dengan Laila?”
begitu nasihat Mas Ihsan ketika itu. –hal 173—
Mas
Ihsan, sebagai kakak angkatan di kampus, sekaligus tempat berbagi cerita, dan
ingin sekali Umar taarufkan dengan Farah, tentu saja tidak ingin Umar
menanggung malu hanya karena menebak-nebak sesuatu yang tidak perlu.
Begitu
Umar mendapat informasi selengkap-lengkapnya dari seorang akhwat yang pernah
menyatakan cintanya kepada Umar, teman sekampus sekaligus jadi dosennya juga –Nurul,
Umar mengetahui kalau Hidayah Nazilah Mahabbah adalah Laila. Umar berusaha menjemput
cintanya ke Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang.
Selama
4 tahun menempa diri, Laila berhasil merevolusi diri dari sebelumnya pengamen,
penghafal lagu-lagu cinta picisan kemudian menjadi penghafal Al-Quran.
“Laila sudah hafal 25 juz lebih, Mar.”
Nurul menceritakannya padaku saat pertemuan kami di kantin kemarin.
Saya
jadi mikir, kayaknya judul Laila kurang pas sama isi ceritanya karena Laila cuma
numpang lewat di bagian awal dan bagian menjelang akhir hingga akhir. :)
Namun,
secara keseluruhan novel ini memang inspiratif. Kentalnya dunia keagamaan
sebagai latar keseharian dunia penulis benar-benar terasa, kejutan demi kejutan
dan logika cerita yang saling bersambungan membentuk alur cerita yang sulit
ditebak ujungnya. Meski paling ujung sebagai ending tentu sudah banyak yang bisa menebak (kalau enggak sedih, ya
bahagia. Dan penulis memilih ending tertutup
yang bahagia.)
Dengan
tema perjuangan mempertahankan cinta, penulis tidak terjebak pada ending biasa.
Biasanya seorang anak yang lahir dari ketidakjelasan, ujungnya masuk ke dalam
kehidupan tak jelas pula.
Novel
ini justru menjelang akhir ceritanya cukup mengejutkan. Ya, meski penulis
seakan baru membangunkan tokoh Laila menjelang akhir cerita. Laila ini jadinya
seperti tokoh cerita yang sengaja ditidurkan sepanjang jalan cerita. Mirip kali
ya kalau kita berangkat dari terminal masih melek, sepanjang perjalanan
tertidur, tahu-tahu dibangunkan karena sudah sampai tujuan (maksudnya, tokoh
Laila diceritakan di bagian awal, tengahnya tentang Umar berserta keluarga dan
teman-temannya di Kampus. Begitu menjelang akhir, eh tahu-tahu Laila muncul
lagi.)
Bagaimanapun, novel Laila ini memang bacaan yang menginspirasi dengan alur dan ceritanya yang unik dan menawan. Membuat saya tahu bebeberapa tempat di Surabaya, selain kekuatan penulis dalam menyampaikan pesan secara halus melalui cerita dalam tulisan.
_ Semoga bermanfaat _
(Resensi Ini Diikutkan dalam Lomba Indiva Readers Challenge (IRC) 2014
Bagaimanapun, novel Laila ini memang bacaan yang menginspirasi dengan alur dan ceritanya yang unik dan menawan. Membuat saya tahu bebeberapa tempat di Surabaya, selain kekuatan penulis dalam menyampaikan pesan secara halus melalui cerita dalam tulisan.
_ Semoga bermanfaat _
(Resensi Ini Diikutkan dalam Lomba Indiva Readers Challenge (IRC) 2014
Bagi yang membaca, ada typo dalam tulisan ini.
BalasHapusEntahlah mengapa tiba-tiba sulit untuk di-edit.
Semoga tetap nyaman ketika membacanya.