Judul : Meski
Cinta Saja Tak Pernah Cukup
Penulis : Deasylawaty
P.
Penyunting
Bahasa : Mastris Radyamas
Penata
Letak : Puji
Lestari
Penata
Sampul : Andhi Rasydan
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Terbit : Cetakan
Pertama, Jumadil ‘Ula 1435 H./Maret 2014
ISBN :
978-602-1614-07-5
Tebal
buku : 368 hlm.;
20 cm.
Perpisahan
saudara kandung “secara paksa”, meski oleh keadaan sekalipun, seringkali
mendatangkan dampak buruk. Kenangan pahit yang dialami Syahdan dan Naila di
Lapangan Gasibu ketika mereka hendak berebut makanan buku puasa dengan
orang-orang pinggiran lainnya. (Bagian ini menjadi prolog yang apik dan membuat
penasaran).
Dua
puluh tahun kemudian, Silmi Paramitha yang ditakdirkan hidup bahagia dengan
orangtuanya di Rembang, sedang bahagia pula menjalani proses ta’aruf, yang biodatanya telah disetujui
kedua orangtuanya. Sebuah biodata lengkap dengan selembar foto dengan senyumnya
yang surya, karena dengan ajaibnya Silmi terpana oleh kehangatannya. Bahkan
sejak pertama kali ia bertemu di gedung Tiara dengan lelaki itu. Mas Daniar,
panggilan Silmi untuknya.
Di
sela-sela prosesnya dengan Mas Daniar yang sudah hampir satu setengah bulan,
Silmi, Delia, dan Yunan mendapat tugas studi banding dengan salah satu penerbit
di Bandung. Mereka menggunakan kereta api. Di tengah perjalanan, Dell tiba-tiba
mengeluh pusing dan mengeluarkan kembali isi sarapannya. Silmi terpancing ikut
muntah. Yunan yang mau menolong pun hampir ikut-ikutan muntah. Saat itulah
tampil kesatria yang duduk di sebelah Yunan bernama Rifki, tanpa merasa jijik
membereskan “pekerjaan” Yunan.
Silmi
mencurigai Rifki karena sering melempar matanya yang sayu ke arahnya.
Sesampainya mereka di Gedung Sate, Rifki tersenyum samar, memandang dengan
sendu ke arah Gedung Sate. Silmi merasakan sesuatu yang tidak beres. Rifki
menceritakan sesuatu yang sangat menyakitkan. Saat itu juga Silmi merasakan ada
sesuatu yang mendera berhubungan dengan tempat ini.
Sebenarnya, ada apa
ini? Apa yang terjadi padaku, yang berhubungan dengan tempat ini? –Halaman 55-
Suatu
waktu, ketika Silmi asyik mengobrol dengan Aida, salah satu penulis Tazkia,
Silmi menerima telepon dari pamannya yang bernama Pak Rauf. Telepon yang membuatnya muram karena mengabarkan ayahnya
kena serangan jantung. Dan sudah dibawa ke rumah sakit di Kudus. Silmi bergegas
pulang ke Rembang.
Pak
Rauf, pamannya Silmi datang dari Bandung ke Solo untuk menemui Daniar. Menantangnya
segera menikahi Silmi dalam waktu satu atau dua hari, karena kondisi bapaknya
Silmi makin parah.
Daniar
mencurahkan semua isi hatinya kepada Yunan. Yunan yang sebenarnya bingung pada
perasaan sendiri sedari awal sebelum mengenalkan Daniar dengan Silmi,
berandai-andai dapat memutarbalikkan waktu.
Dua
hari setelah pertemuan Pak Rauf dan Daniar, Pak Rauf menjemput Daniar di
kantornya –Epsilon untuk melangsungkan akad nikah. Di tengah perjalan, Pak Rauf
menghentikan mobil, menceritakan rahasia masa lalu Silmi.
Pak Rauf yang dulunya bertugas sebagai polisi,
bertugas di Dago, Bandung, menemukan Silmi saat masih kecil. Waktu itu sedang
ada pembagian buka gratis di depan Gedung Sate, sumbangan dari Walikota
Bandung. Silmi sendirian, berumur sekitar 5 atau 6 tahun. Karena tak tega, Pak
Rauf membawa Silmi ke klinik kepolisian. Merawat Silmi hingga beberapa hari dan
tidak ada kabar apa pun tentang orangtuanya.
Pak Rauf menceritakan
tentang Silmi kepada Mbak Zul, kakaknya. Kakaknya itu jatuh kasihan dan meminta
izin membawa Silmi ke Rembang. Dia dan suaminya memutuskan mengadopsinya dan
menamai Silmi Paramitha.
Saat
itu juga Daniar mengenali Silmi sebagai adiknya da menolak menikahi Silmi.
Terjadi keributan di rumah Silmi sebagai tempat seharusnya akad nikah. Daniar
tetap diminta menikahi Silmi oleh keluarga Silmi. Namun, Daniar bersikeras
menolak. Semuanya bingung dan tidak menginginkan gagalnya pernikahan Silmi
karena khawatir keadaan ayah Silmi makin gawat.
Yunan
yang saat itu mendampingi Daniar, mengajukan diri menikahi Silmi. Meski dalam
kondisi bingung, Silmi meminta Yunan shalat istikharah. Silmi dan Yunan shalat
istikharah sebelum memutuskan akad nikah. Mereka resmi menikah dengan beberapa
syarat yang diajukan Silmi.
Dihari
kedua Silmi menjadi istri Yunan, rekan kerjanya sendiri, yang tidak pernah
disangkanya sama sekali, tidak ada seorang pun di kantor yang mengetahuinya.
Silmi ingin sekali memungkiri kenyataan sudah menikah dengan Yunan Izzudin.
Sebagai
pengalihannya, sekaligus ingin mengenal lebih dekat dengan saudara kandungnya,
Silmi justru lebih sering menemui Daniar dan menghindari Yunan. Membuat Yunan
cemburu berat hingga melakukan kesalahan-kesalahan yang diluar masuk akal.
Bahkan, menjatuhkan talaknya. Membuat Silmi pulang ke Rembang.
Cerita
dalam novel ini unik dengan karakteristik tersendiri. Pesan tersembunyi yang
begitu apik, dalam setiap hubungan harus ada komunikasi dengan siapapun,
termasuk rekan kerja.
Meski awalnya saya
bingung dengan perpindahan dari sudut pandang penulis sebagai “aku” yaitu
Silmi, tiba-tiba menjadi sudut pandang serba tahu layaknya dalang yang sedang
memainkan wayang, semua harus tampil. Namun bagaimanapun, kematangan dan kelihaian
penulis menuangkan ide dalam cerita utuh menjadi keunikan tersendiri yang
membuat novel ini sangat hidup.
Isi novel ini juga dilengkapi
dengan cerita tentang Fira menjebak Daniar agar mau menikah dengannya.
Keinginan-keinginan Yunan menjadi suami sesungguhnya. Perjuangan Silmi untuk
lebih mengenal Yunan. Dan pastinya pesan yang kuat begitu dalam tertuang dalam novel
ini, bukan hanya habluminannas, namun habluminallah juga, misalnya dengan
shalat istikharah ketika kita menentukan pilihan.
-
Semoga bermanfaat –
(Resensi Ini Ditulis untuk Mengikuti Lomba Indiva Readers Chalenge 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.