Judul
: Mei Hwa Dan Sang Pelintas
Zaman
Penulis
: Afifah Afra
Penyunting Bahasa :
Ayu Wulan
Penata Letak :
Puji Lestari
Desain Sampul :
Andi Rasydan
Penerbit : Penerbit Indiva, Solo
Cetakan pertama, Safar 1435 H./ Januari
2014
Jumlah Halaman : 368 halaman
ISBN
: 978-602-1614-11-2
Buku ini membuat saya jatuh hati pada pandangan pertama.
Kover depan menurut saya sangat menarik. Anehnya saya menggambarkan kover ini
dengan sesuatu yang tenang dan nyaman. Berbeda ketika membaca kover bagian
belakang. Gejolak masalah sudah terasa sedari awal memegang novel ini. Sinopsis
yang membuat saya penasaran dengan isi di dalamnya.
“Dia
korban pemerkosaan,” bisikan seorang lelaki berjas putih itu menyakiti hatiku.
Korban
pemerkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas
yang semalam menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.
“Kasihan
dia,” ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu
menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.
Kenapa?”tanya
seorang wanita, juga berpakaian serba putih.
“Rumahnya
dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stres, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya
bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
Awalnya, saya sempat merasa pening membaca beberapa bab
novel ini karena pergantian sudut pandang yang terasa melompat-lompat dari masa
ke masa. Dengan sedikit paksaan tekad kuat untuk menuntaskan novel ini,
akhirnya tuntas juga melahap sajian kisah tentang dua orang perempuan berbeda zaman, Mei Hwa dan Sekar
Ayu.
Mei Hwa merupakan gadis keturunan China
yang serba sempurna. Cantik, pintar, calon dokter hebat yang berkuliah di
universitas ternama di Indonesia, dan keluarganya pun sempurna sebelum kejadian
tragedi kerusuhan 1998 yang menghancurkan segalanya termasuk kehidupan Mei Hwa.
Mei Hwa pun menjadi korban pemerkosaan yang biadab. Serta kehancuran lain
keluarganya. Sangat tragis sekali ketika kebahagiaan harus terkoyak tragedi
mengenaskan.
Musibah yang menimpa keluarga dan
dirinya membuat jiwa Mei Hwa terganggu hingga harus dirawat di RSJ. Saat melarikan diri, Mei Hwa bertemu dengan
sang pelintas zaman, Sekar Ayu.
Menjelang akhir cerita barulah saya
benar-benar dapat memahami isi novel ini dengan baik. Serta hubungan antara
semua tokoh dengan jelas. Sekar Ayu merupakan sosok cucu Kiai Hadramaut dan
berdarah bangsawan. Usia 7 tahun Sekar Ayu menjadi korban tindak asusila yang
dilakukan oleh tentara Jepang. Setelah berhasil melarikan diri nasibnya tetap
kurang beruntung. Cerita demi cerita hitam harus dijalaninya. Hingga suatu saat
Sekar Ayu menyesali perbuatannya seumur hidupnya.
Dan pada bagian ending, saya sangat
terperangah. Betapa apik, mulus, dan lihai penulis mengemas semuanya hingga
menjadi cerita yang utuh membentuk satu kesatuan tak terpisahkan. Ending yang
seharusnya bahagia malah terasa mengharu biru ikut merasakan kebahagiaan
sekaligus duka para tokohnya.
Menarik napas lega begitu berhasil
menuntaskan isi buku ini. Banyak hikmah yang bisa saya petik, di antaranya
terus memperjuangkan kehidupan meski memiliki latar belakang kisah pahit dan
tak mengenakkan sekalipun (berkaca pada tokoh Mei Hwa).
Entah apa sebutannya untuk novel ini,
apakah novel romance berbalut sejarah? Ataukah novel sejarah berbalut kisah
cinta. Sepertinya lebih kuat dalam kisah cintanya karena bagi saya sendiri
selama mengikut sajian alur, plot, dan konflik-konflik dalam novel ini kisah
sejarahnya hanya sedikit sekali. Seakan sekilas- sekilas saja. Bahkan terasa
ada beberapa unsur kebetulan yang masih menyisakan tanya dalam benak dengan
hadirnya tokoh tambahan namun tidak ada dalam kisah sedari awal hingga ke
tengah cerita. Bagaimana kehidupan dan hubungan tokoh ini sebenarnya dengan Mei
Hwa.
Lepas dari semua itu saya menikmati
pesan untuk berempati kepada sesama meski dalam kisah novel sekalipun. Bisa
jadi, ada orang seperti itu di sekitar kita yang sedang menutup diri dan
memerlukan bantuan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.