Minggu, 01 November 2015

Cerpen: Jangan Salah Sangka!


Jangan Salah Sangka!
Oleh Susanti Hara Jv

“Lo keterlaluan, Han!” Gerutu Fian begitu Delya, teman sekelas Hana pergi meninggalkan kelas XI B, kelas Fian biasanya belajar.
Hana dan Fian memang beda kelas. Tetapi Fian memiliki mata-mata terpercaya bernama Delya sehingga selalu tahu setiap gerak-gerik Hana.
Wajah Fian memerah menahan geram. Setiap pengakuan Delya terus terngiang di telinga membuat hatinya mendongkol. Bagaimana tidak? Berdasarkan informasi dari Delya, dua hari ini di kelas, Hana begitu dekat sama David dan geng motornya. Bahkan saat jam istirahat, Fian juga memergoki mereka sangat akrab di kantin sekolah. Mereka tertawa-tawa. Begitu lepas. Membuat hati Fian makin panas.
Siapa sih yang tidak kenal David di SMA Nusa Bangsa? David adalah ketua geng motor yang namanya sudah sangat terkenal di seluruh Jakarta. Bahkan bisa jadi namanya terkenal di geng motor mana pun di seluruh Indonesia. Beruntungnya, David selalu bebas dari jeratan hukum.
Detik itu juga Fian ingin meminta penjelasan Hana. Tapi, begitu sampai di koridor dekat taman sekolah, seberang kelas Hana, Fian melihat Hana sedang asyik mengobrol dengan Zaki si ketua Osis. Mereka terlihat sangat akrab.
“Ngapain lo diem saja di situ?” Hilman menepuk pundak Fian.
“Enggak usah sok peduli!”
Yeee, gue emang peduli sama lo.” Hilman mengamati wajah Fian lalu mengikuti ke mana arah teman sekelasnya itu memandang. Beberapa detik kemudian Hilman terbahak-bahak. “Pantas lo jengkel. Lagi cemburu, kan?”
“Apaan sih lo! Sok tahu!”
“Begini nih kalau teman gue cemburu. Mendadak sinis. Enggak mau melihat kebaikan orang lain. Padahal gue emang peduli sama lo. Hmmm, Hana itu cantik, populer karena baik hati, ramah, menyenangkan, dan peduli sama orang lain. Pantas saja kalau cowok-cowok mengerubungi dia. Eh, itu juga, kan, yang bikin lo jatuh cinta sama Hana?”
“OK semuanya benar. Tapi sekarang dia, kan, pacar gue. Harusnya dia menghargai gue sebagai pacarnya dong. Bukannya malah ngobrol enggak jelas sana-sini gonta-ganti cowok begituan.”
Begituan bagaimana maksud lo? Halah, itu sih lo saja kali yang lagi kebakar api cemburu. Mending buruan lo pademin tuh api cemburu sebelum terjadi kecelakaan di jalan raya akibat cemburu. Gue sih malas kalau nanti baca koran lihat berita seorang ramaja kecelakaan di jalan raya karena cemburu.”
“Apaan sih lo? Terserah lo deh! Lagian dia itu bukannya mikir biar sahabatnya cepat sembuh, eh malah gonta ganti teman ngobrol. Dia anggap gue ini apa sih?”
Jelas saja Fian sangat marah. Bukan hanya karena faktor cemburu. Ada faktor lain yang sangat berkaitan erat dengan Hana dan Sisil, sahabat mereka. Dua hari lalu Sisil kecelakaan di jalan raya hingga koma. Berdasarkan keterangan dari berbagai pihak, Sisil mengendarai sepeda motornya sendirian tanpa menggunakan topi pelindung kepala bernama helm.
Bagi Fian, seharusnya Hana sekarang berada di dekat Sisil. Memberikan semangat hidup untuk Sisil agar kesadarannya segera kembali. Ini malah sebaliknya. Hana akrab bersama teman-teman lainnya. Kalau temannya itu cewek lagi, tentu saja Fian masih bisa terima. Semua masuk akal. Tetapi dua hari ini justru Hana malah berdekatan sama cowok-cowok populer di sekolah. Sungguh, Fian tidak bisa menerima perilaku Hana dua hari ini.
“Mending lo samperin dia saja gih biar semuanya jelas,” saran Hilman.
Ogah ah. Males gue.” Fian cuek meninggalkan Hilman yang masih menertawakan teman sekelasnya itu.
Fian menuju tempat parkir sepeda motor. Di sepanjang koridor sekolah dia terus menggerutu kesal. Tatapan teman-teman sesekolahnya yang keheranan saat berpapasan tak dia pedulikan. Dia benar-benar sibuk memikirkan perubahan sikap Hana. Benar-benar tidak masuk akal. Masa sih sahabatnya terbaring lemah di ruang khusus rumah sakit, Hana malah gonta-ganti cowok teman mengobrol. Benar-benar kurang kerjaan.
Begitu sampai di tempat parkir, Fian makin kesal menunggu Hana enggak nongol-nongol. Padahal, satu per satu teman Fian membunyikan klakson sembari melambaikan tangan, tanda mereka pamit pulang duluan.
Fian merogoh tas bagian depan. Mengeluarkan smartphone lalu menggerakkan jemarinya sembari berharap ada pesan dari Hana. Ternyata, nihil. Hana sama sekali tidak mengiriminya pesan apapun.
Gelisah, Fian menatap layar smartphone. Perubahan waktu begitu kentara. Lima belas menit sudah Fian menunggu Hana. Fian makin gerah. Detik itu juga dia nge-line, mengirimkan pesan singkat melalui jejaring sosial line.
Masih asyik sama cowok-cowok baru lo...
Pesan telah terkirim lebih dari 5 menit. Belum juga ada balasan. Fian makin kegerahan. Pikirannya melantur ke mana-mana. Ingin sekali dia kembali ke tempat tadi ketika melihat Hana asyik mengobrol di dekat taman sekolah. Namun, begitu melihat Hilman datang  Fian mengurungkan niatnya.
“Belum pulang juga lo, Yan?” Hilman cengar-cengir.
“Lo lihat sendiri gue masih di sini.”
“Yan, gue sebenarnya pengin denger semua curhatan lo. Sayangnya, gue harus jemput nyokap gue di rumah. Terus kita ke rumah sakit bareng buat jenguk Sisil.”
“Nah itu dia masalahnya, Men. Lo tahu Sisil itu sahabat Hana, tapi kenapa tuh pacar gue malah gonta-ganti cowok sih bukannya mikirin keadaan sahabatnya. Nyari cara gitu gimana kek supaya sahabatnya cepat pulih.”
“Omongan lo tuh sudah menyimpang enggak karuan. Mending buruan lo selesaikan masalah sama Hana. Tapi ingat ya, cewek itu bukan cowok yang bisa lo kasarin. Cewek itu lembut, sensitif malah. Apalagi kalau lagi PMS, Pra Menstruasi Syndrom, beuh... enggak bakal bisa lo tebak deh karakternya.”
“Tahu dari mana lo hal begituan?”
“Kakak sama Ibu gue, kan, cewek, Yan. Lo gimana sih... Sudah ah gue mau pulang duluan.”
Hilman mendekati sepeda motornya, merogoh kunci motor dari dalam tasnya, mengeluarkannya lalu mulai men-starter motornya.
Bye... Bye... Fian galauwers.” Hilman mulai mengendari motornya sambil melambaikan tangan.
Disaat bersamaan, tanda pesan masuk di smartphone Fian berbunyi. Di atas motornya, Fian membuka pesan dari Hana. Ada tiga pesan berbeda.
Jangan salah sangka!
Apaan sih maksud lo?
Sekarang lo di mana? Dari tadi gue tungguin di depan kelas, lo enggak nongol-nongol juga.
Pesan Hana makin membuat Fian jengkel. Buru-buru dia mengetik beberapa pesan. Baru saja Fian akan mengirimkan pesan itu, tahu-tahu Hana sudah ada di dekatnya.
“Jadi lo ada di sini? Asyik main handphone, lagi,” sindir halus Hana.
Seharusnya Fian menumpahkan semua kekesalannya, tapi dia ingat ucapan Hilman, cewek itu lembut, sensitif malah. Ujungnya, Fian hanya mendengus kesal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Heh, kenapa lo malah diem gitu sih?” lanjut Hana.
Sekali ini Fian tidak dapat menahan semua rasa sebalnya. “Lo benar-benar enggak nyadar diri ya? Sudah 2 hari gue perhatiin lo baik-baik. Lo sudah berubah sekarang. Lo bukan Hana yang dulu lagi.”
Sebenarnya Hana agak khawatir juga melihat perubahan wajah Fian. Wajah putih bersih cowoknya itu mendadak mirip hantu paling menakutkan. Hana sampai merinding dibuatnya. Namun, Hana berusaha menenangkan hatinya. Membalas perkataan Fian menggunakan nada tinggi. Hana memang benar-benar tidak bisa menerima perlakuan kata-kata kasar Fian semenjak mendapat pesan melalui line tadi.
 “Maksud lo apa sih? Gue benar-benar enggak ngerti.”
“Sahabat lo tuh lagi koma di rumah sakit. Eh ello malah asyik-asyikkan gonta ganti cowok dalam dua hari ini.”
Hana tak menyahut. Cewek berambut sepinggang itu setengah berlari pergi meninggalkan Fian begitu saja. Untuk sesaat, Fian melongo menyaksikan adegan ceweknya yang super acuh. Begitu sadar, Fian langsung menyalakan sepeda motornya dan mengejar Hana.
“Buruan naik?” pinta Fian sambil menghentikan laju sepeda motornya begitu sampai di dekat Hana.
“Enggak, gue mau jalan kaki sampai di rumah sakit,” tolak Hana.
“Setiap kemauan lo selalu gue turuti. Lo larang gue bilang sayang, honey, atau apapun selalu gue turuti. Sekarang apalagi mau lo?”
“Gue mau ke rumah sakit. Apa kurang jelas perkataan gue tadi?”
“OK gue anter. Ayo, sekarang juga lo naik.”
Enggan menyahut lagi, Hana langsung menaiki jok belakang sepeda motor Fian.
“Mana helmnya?” Hana mengangsurkan tangan kanan ke hadapan Fian.
Tanpa mengeluarkan suara Fian memberikan helm yang tergantung di bagian depan sepeda motornya. Sejak kejadian 2 hari lalu, tepatnya setelah Sisil mengalami kecelakaan di jalan raya hingga koma, Fian dan Hana jadi lebih berhati-hati. Helm merupakan perangkat penting bagi mereka untuk melindungi kepala agar tak mengalami benturan seandainya terjadi kecelakaan. Siapapun pasti tidak ingin mengalami kejadian serupa Sisil. Hanya karena tidak menggunakan helm, Sisil harus dirawat di rumah sakit hingga jangka waktu yang belum bisa ditentukan.
Mereka berdua berkendara membelah keramaian ibu kota provinsi Indonesia. Tanpa pernah mereka duga, mendadak sepeda motor berhenti di tengah ramainya kendaraan. Bunyi-bunyi klakson mendadak riuh memekakkan telinga. Antrian kendaraan mobil dan sepeda motor tidak dapat terelakan.
Di tengah jalan raya dalam keadaan sepeda motor mogok, tentu saja membuat wajah Hana memerah. Bukan, Hana bukan sedang menahan marah. Tapi, Hana menahan malu karena mengalami kejadian tak mengenakkan di tengah lancarnya lalu lintas di jalan raya.
“Sial!” gerutu Fian penuh kekesalan begitu mereka sudah menepi di pinggir jalan raya. “Abang Ijul pasti lupa bawa sepeda motor ke bengkel tempat service. Sekarang, gue, kan yang jadi kena getahnya.”
Hana bertolak pinggang, berlagak marah, “Apa?”
“Gue benar-benar minta maaf, Han. Gue sudah berulang kali mengingatkan Abang Ijul, kakak gue itu buat bawa service sepeda motor secara teratur. Tapi, kayaknya Abang Ijul lupa deh.”
“Kalau Abang kamu lupa, ya tugas kamu dong buat bawa sepeda motor ini ke tempat service,” Hana menepuk jok sepeda motor berulang kali. “Lo sendiri tahu, kan, keselamatan kita di jalan raya itu penting. Apa gara-gara lo enggak periksain motor lo secara rutin ke tempat service sepeda motor, terus kita harus mengalami kejadian kayak Sisil?”
Argh... Suasana benar-benar panas. Sudah dapat musibah motor mogok ditambah pula Hana terus mengoceh. Bisa kebakaran hati kalau Fian terus membiarkan keadaan seperti ini. Buru-buru Fian mengalihkan perhatiannya dengan membuka jok sepeda motor. Berusaha memperbaiki sendiri sepeda motornya sebelum menelepon keluarganya atau orang-orang bengkel yang dikenalnya.
Hai Men, apa yang bisa kita bantu?” sebuah suara dari arah belakang punggungnya membuat Fian terperanjat. Begitu menoleh ke belakang, rasanya dia ingin buru-buru mengajak Hana meninggalkan tempat ini. Tapi, bagaimana caranya? Sepeda motornya sedang mogok, sama sekali tak dapat digunakan.
“Sini gue bantu lo.” Tanpa berbasa-basi lagi, David dan gengnya mengacak-acak seisi sepeda motor Fian. Sementara pemiliknya hanya melongo bingung. Fian baru sadar begitu David memintanya men-starter.
Dalam hati, Fian sangat takjub menyaksikan hasil kerja David dan gengnya. Hanya memerlukan waktu beberapa menit saja spare part sepeda motor yang tadi diubrak-abrik telah kembali ke posisi semula. Dan motor pun dapat menyala dipergunakan.
“Bagaimana?” David mengacungkan jempolnya. “Sudah OK, kan?”
“Iya, OK,” angguk Fian. “Thanks, Dav dan semuanya.”
“Ah, ini sih biasa saja,” aku David sambil memalingkan wajahnya ke arah Hana. “Oya Han, gue dan semua teman gue dukung semua rencana lo untuk bikin Komunitas Pengendara Bijak. Cuma ya saran gue, lo harus cari nama yang enak didenger buat komunitas itu. Gimana kalau besok kita bahas masalah ini bareng-bareng?”
Hana sempat salah tingkah melihat David menatapnya lekat. Apalagi, Fian pun seakan tak mau kalah. Fian terus mengamati wajah Hana. Tentu saja membuat Hana menjadi canggung mengeluarkan kata-katanya.
“OK David. Sampai ketemu besok di sekolah,” ucap Hana agak ragu.
David bersama geng motornya pun pergi melanjutkan perjalanan. Begitupun Fian dan Hana. Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit, tempat Sisil dirawat. Sepanjang perjalanan keduanya saling diam. Hingga mereka berdua tiba di dalam ruangan tempat Sisil di rawat, keduanya baru saling mengeluarkan suara.
Tanpa Hana sadari, Fian mulai mengerti kenapa 2 hari ini ceweknya itu selalu berdekatan dengan David and the gank. Hana ingin membuat komunitas untuk keselamatan pengendara sepeda motor. Hana ingin sekali supaya siapapun, termasuk teman-temannya di sekolah selalu tertib berkendaraan di jalan raya. Ya, dan secara tidak langsung Hana pernah menceritakannya kepada Fian. Tapi, Fian kurang peduli. Baru setelah Hana berdekatan dengan David, Fian mulai mengerti kalau orang pertama yang tepat untuk diajak berubah di sekolah adalah David sebagai kepala geng motor. Kalau David sudah berubah dan menyetujui permintaan Hana, maka tentu saja kawan-kawannya David pun akan mudah dipengaruhi.
Dalam ruangan khusus penuh peralatan canggih, tubuh Sisil penuh dengan lilitan selang. Air mata Hana bercucuran. Ruangan khusus itu tidak bisa dikunjungi sembarangan orang. Dalam ruangan itu hanya boleh 2 orang penjenguk. Dan di ruangan tempat Sisil terbaringlah, semua rahasia Hana terbuka. Membuat Fian sangat takjub dengan kepribadian Hana.
“Apa salah kalau gue mengikuti kata hati?” Hana memulai pembicaraan. “Seorang sahabat gue sekarang terbaring lemah tanpa daya karena kecelakaan di jalan raya. Apa gue mesti cuek membiarkan orang lain di sekitar gue mengalami hal serupa Sisil?”
“Gue sekarang ngerti kenapa lo deketin David and the gank, Han. Gue minta maaf karena sudah salah sangka dan salah menilai lo. Sekarang gue ngerti kalau lo benar-benar peduli sama semua orang. Gue ngerti lo berusaha menghilangkan semua kesedihan lo.”
“Gue enggak peduli ello atau teman-teman di sekolah nantinya mengatakan hal buruk tentang gue. Tapi satu hal yang gue ngerti sejak Sisil mendapat musibah kecelakaan di jalan raya, gue harus lebih peduli sama sesama gue. Gue harus berbuat kebaikan lebih banyak, gue harus bertindak lebih baik dari sebelumnya.”
Fian tersenyum haru. Sejujurnya dia sempat terpengaruh pengaduan Delya, namun sekarang dia mengerti semua tentang harapan Hana. Mungkin, orang lain tidak mengerti ketulusan Hana, tapi mulai detik ini Fian bertekad untuk terus mendukung perjuangan Hana mewujudkan impiannya supaya semua pengendara tertib di jalan raya. 
Dan satu hal yang kini bisa Fian rasakan bersama Hana dalam ruangan tempat Sisil dirawat di bawah pengawasan dokter, kini kesedihan tengah menggelayuti Hana. Kesedihan yang dapat Fian rasakan terbungkus rapi dalam tekad kuat untuk merubah keadaan. Kesedihan bukan untuk membuat terlarut dalam duka dan derita. Tapi, kesedihan ini harus membuat kita bersemangat melakukan sesuatu yang berarti untuk orang-orang terdekat.
I love you, Hana, bisik pelan batin Fian yang tak terucap di hadapan Hana karena Fian benar-benar tahu kalau Hana tak pernah menyukai hal berbau lebay.


***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.

Bersatu Memandirikan Anak Luar Biasa

  Sebelum adanya pandemi COVID-19, setiap hari Selasa, mulai pukul 11.00 WIB hingga selesai, peserta didik SLB B Sukapura kelas tinggi, sebu...