Jangan
Salah Sangka!
Oleh
Susanti Hara Jv
“Lo
keterlaluan, Han!” Gerutu Fian begitu Delya, teman sekelas Hana pergi
meninggalkan kelas XI B, kelas Fian biasanya belajar.
Hana
dan Fian memang beda kelas. Tetapi Fian memiliki mata-mata terpercaya bernama
Delya sehingga selalu tahu setiap gerak-gerik Hana.
Wajah
Fian memerah menahan geram. Setiap pengakuan Delya terus terngiang di telinga
membuat hatinya mendongkol. Bagaimana tidak? Berdasarkan informasi dari Delya,
dua hari ini di kelas, Hana begitu dekat sama David dan geng motornya. Bahkan
saat jam istirahat, Fian juga memergoki mereka sangat akrab di kantin sekolah. Mereka
tertawa-tawa. Begitu lepas. Membuat hati Fian makin panas.
Siapa
sih yang tidak kenal David di SMA Nusa Bangsa? David adalah ketua geng motor
yang namanya sudah sangat terkenal di seluruh Jakarta. Bahkan bisa jadi namanya
terkenal di geng motor mana pun di seluruh Indonesia. Beruntungnya, David
selalu bebas dari jeratan hukum.
Detik
itu juga Fian ingin meminta penjelasan Hana. Tapi, begitu sampai di koridor
dekat taman sekolah, seberang kelas Hana, Fian melihat Hana sedang asyik
mengobrol dengan Zaki si ketua Osis. Mereka terlihat sangat akrab.
“Ngapain
lo diem saja di situ?” Hilman menepuk
pundak Fian.
“Enggak
usah sok peduli!”
“Yeee, gue emang peduli sama lo.” Hilman
mengamati wajah Fian lalu mengikuti ke mana arah teman sekelasnya itu
memandang. Beberapa detik kemudian Hilman terbahak-bahak. “Pantas lo jengkel.
Lagi cemburu, kan?”
“Apaan
sih lo! Sok tahu!”
“Begini
nih kalau teman gue cemburu. Mendadak sinis. Enggak mau melihat kebaikan orang
lain. Padahal gue emang peduli sama lo. Hmmm, Hana itu cantik, populer karena
baik hati, ramah, menyenangkan, dan peduli sama orang lain. Pantas saja kalau
cowok-cowok mengerubungi dia. Eh, itu juga, kan, yang bikin lo jatuh cinta sama
Hana?”
“OK
semuanya benar. Tapi sekarang dia, kan, pacar gue. Harusnya dia menghargai gue
sebagai pacarnya dong. Bukannya malah ngobrol enggak jelas sana-sini gonta-ganti
cowok begituan.”
“Begituan bagaimana maksud lo? Halah, itu
sih lo saja kali yang lagi kebakar api cemburu. Mending buruan lo pademin tuh api cemburu sebelum terjadi
kecelakaan di jalan raya akibat cemburu. Gue sih malas kalau nanti baca koran
lihat berita seorang ramaja kecelakaan di jalan raya karena cemburu.”
“Apaan
sih lo? Terserah lo deh! Lagian dia itu bukannya mikir biar sahabatnya cepat
sembuh, eh malah gonta ganti teman ngobrol. Dia anggap gue ini apa sih?”
Jelas
saja Fian sangat marah. Bukan hanya karena faktor cemburu. Ada faktor lain yang
sangat berkaitan erat dengan Hana dan Sisil, sahabat mereka. Dua hari lalu
Sisil kecelakaan di jalan raya hingga koma. Berdasarkan keterangan dari berbagai
pihak, Sisil mengendarai sepeda motornya sendirian tanpa menggunakan topi
pelindung kepala bernama helm.
Bagi
Fian, seharusnya Hana sekarang berada di dekat Sisil. Memberikan semangat hidup
untuk Sisil agar kesadarannya segera kembali. Ini malah sebaliknya. Hana akrab bersama
teman-teman lainnya. Kalau temannya itu cewek lagi, tentu saja Fian masih bisa
terima. Semua masuk akal. Tetapi dua hari ini justru Hana malah berdekatan sama
cowok-cowok populer di sekolah. Sungguh, Fian tidak bisa menerima perilaku Hana
dua hari ini.
“Mending
lo samperin dia saja gih biar semuanya jelas,” saran Hilman.
“Ogah ah. Males gue.” Fian cuek meninggalkan Hilman yang masih menertawakan
teman sekelasnya itu.
Fian
menuju tempat parkir sepeda motor. Di sepanjang koridor sekolah dia terus
menggerutu kesal. Tatapan teman-teman sesekolahnya yang keheranan saat
berpapasan tak dia pedulikan. Dia benar-benar sibuk memikirkan perubahan sikap
Hana. Benar-benar tidak masuk akal. Masa sih sahabatnya terbaring lemah di
ruang khusus rumah sakit, Hana malah gonta-ganti cowok teman mengobrol. Benar-benar
kurang kerjaan.
Begitu
sampai di tempat parkir, Fian makin kesal menunggu Hana enggak nongol-nongol. Padahal,
satu per satu teman Fian membunyikan klakson sembari melambaikan tangan, tanda
mereka pamit pulang duluan.
Fian
merogoh tas bagian depan. Mengeluarkan smartphone
lalu menggerakkan jemarinya sembari berharap ada pesan dari Hana. Ternyata, nihil.
Hana sama sekali tidak mengiriminya pesan apapun.
Gelisah,
Fian menatap layar smartphone. Perubahan
waktu begitu kentara. Lima belas menit sudah Fian menunggu Hana. Fian makin gerah.
Detik itu juga dia nge-line, mengirimkan
pesan singkat melalui jejaring sosial line.
Masih asyik sama
cowok-cowok baru lo...
Pesan
telah terkirim lebih dari 5 menit. Belum juga ada balasan. Fian makin
kegerahan. Pikirannya melantur ke mana-mana. Ingin sekali dia kembali ke tempat
tadi ketika melihat Hana asyik mengobrol di dekat taman sekolah. Namun, begitu
melihat Hilman datang Fian mengurungkan
niatnya.
“Belum
pulang juga lo, Yan?” Hilman cengar-cengir.
“Lo
lihat sendiri gue masih di sini.”
“Yan,
gue sebenarnya pengin denger semua
curhatan lo. Sayangnya, gue harus jemput nyokap
gue di rumah. Terus kita ke rumah sakit bareng buat jenguk Sisil.”
“Nah
itu dia masalahnya, Men. Lo tahu
Sisil itu sahabat Hana, tapi kenapa tuh pacar gue malah gonta-ganti cowok sih
bukannya mikirin keadaan sahabatnya. Nyari cara gitu gimana kek supaya sahabatnya cepat pulih.”
“Omongan
lo tuh sudah menyimpang enggak karuan. Mending buruan lo selesaikan masalah
sama Hana. Tapi ingat ya, cewek itu bukan cowok yang bisa lo kasarin. Cewek itu lembut, sensitif
malah. Apalagi kalau lagi PMS, Pra
Menstruasi Syndrom, beuh... enggak bakal bisa lo tebak deh karakternya.”
“Tahu
dari mana lo hal begituan?”
“Kakak
sama Ibu gue, kan, cewek, Yan. Lo gimana
sih... Sudah ah gue mau pulang duluan.”
Hilman
mendekati sepeda motornya, merogoh kunci motor dari dalam tasnya, mengeluarkannya
lalu mulai men-starter motornya.
“Bye... Bye... Fian galauwers.” Hilman
mulai mengendari motornya sambil melambaikan tangan.
Disaat
bersamaan, tanda pesan masuk di smartphone
Fian berbunyi. Di atas motornya, Fian membuka pesan dari Hana. Ada tiga
pesan berbeda.
Jangan salah
sangka!
Apaan sih maksud
lo?
Sekarang lo di
mana? Dari tadi gue tungguin di depan kelas, lo enggak nongol-nongol juga.
Pesan
Hana makin membuat Fian jengkel. Buru-buru dia mengetik beberapa pesan. Baru saja
Fian akan mengirimkan pesan itu, tahu-tahu Hana sudah ada di dekatnya.
“Jadi
lo ada di sini? Asyik main handphone,
lagi,” sindir halus Hana.
Seharusnya
Fian menumpahkan semua kekesalannya, tapi dia ingat ucapan Hilman, cewek itu lembut, sensitif malah. Ujungnya,
Fian hanya mendengus kesal tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Heh, kenapa lo malah diem gitu sih?” lanjut Hana.
Sekali
ini Fian tidak dapat menahan semua rasa sebalnya. “Lo benar-benar enggak nyadar diri ya? Sudah 2 hari gue perhatiin lo baik-baik. Lo sudah berubah
sekarang. Lo bukan Hana yang dulu lagi.”
Sebenarnya
Hana agak khawatir juga melihat perubahan wajah Fian. Wajah putih bersih
cowoknya itu mendadak mirip hantu paling menakutkan. Hana sampai merinding
dibuatnya. Namun, Hana berusaha menenangkan hatinya. Membalas perkataan Fian
menggunakan nada tinggi. Hana memang benar-benar tidak bisa menerima perlakuan
kata-kata kasar Fian semenjak mendapat pesan melalui line tadi.
“Maksud lo apa sih? Gue benar-benar enggak ngerti.”
“Sahabat
lo tuh lagi koma di rumah sakit. Eh ello malah asyik-asyikkan gonta ganti cowok
dalam dua hari ini.”
Hana
tak menyahut. Cewek berambut sepinggang itu setengah berlari pergi meninggalkan
Fian begitu saja. Untuk sesaat, Fian melongo menyaksikan adegan ceweknya yang super
acuh. Begitu sadar, Fian langsung menyalakan sepeda motornya dan mengejar Hana.
“Buruan
naik?” pinta Fian sambil menghentikan laju sepeda motornya begitu sampai di
dekat Hana.
“Enggak,
gue mau jalan kaki sampai di rumah sakit,” tolak Hana.
“Setiap
kemauan lo selalu gue turuti. Lo larang gue bilang sayang, honey, atau apapun selalu gue turuti. Sekarang apalagi mau lo?”
“Gue
mau ke rumah sakit. Apa kurang jelas perkataan gue tadi?”
“OK
gue anter. Ayo, sekarang juga lo
naik.”
Enggan
menyahut lagi, Hana langsung menaiki jok belakang sepeda motor Fian.
“Mana
helmnya?” Hana mengangsurkan tangan kanan ke hadapan Fian.
Tanpa
mengeluarkan suara Fian memberikan helm yang tergantung di bagian depan sepeda
motornya. Sejak kejadian 2 hari lalu, tepatnya setelah Sisil mengalami
kecelakaan di jalan raya hingga koma, Fian dan Hana jadi lebih berhati-hati. Helm
merupakan perangkat penting bagi mereka untuk melindungi kepala agar tak
mengalami benturan seandainya terjadi kecelakaan. Siapapun pasti tidak ingin
mengalami kejadian serupa Sisil. Hanya karena tidak menggunakan helm, Sisil
harus dirawat di rumah sakit hingga jangka waktu yang belum bisa ditentukan.
Mereka
berdua berkendara membelah keramaian ibu kota provinsi Indonesia. Tanpa pernah
mereka duga, mendadak sepeda motor berhenti di tengah ramainya kendaraan. Bunyi-bunyi
klakson mendadak riuh memekakkan telinga. Antrian kendaraan mobil dan sepeda
motor tidak dapat terelakan.
Di
tengah jalan raya dalam keadaan sepeda motor mogok, tentu saja membuat wajah
Hana memerah. Bukan, Hana bukan sedang menahan marah. Tapi, Hana menahan malu
karena mengalami kejadian tak mengenakkan di tengah lancarnya lalu lintas di
jalan raya.
“Sial!”
gerutu Fian penuh kekesalan begitu mereka sudah menepi di pinggir jalan raya. “Abang
Ijul pasti lupa bawa sepeda motor ke bengkel tempat service. Sekarang, gue, kan
yang jadi kena getahnya.”
Hana
bertolak pinggang, berlagak marah, “Apa?”
“Gue
benar-benar minta maaf, Han. Gue sudah berulang kali mengingatkan Abang Ijul,
kakak gue itu buat bawa service sepeda motor secara teratur. Tapi, kayaknya
Abang Ijul lupa deh.”
“Kalau
Abang kamu lupa, ya tugas kamu dong buat bawa sepeda motor ini ke tempat
service,” Hana menepuk jok sepeda motor berulang kali. “Lo sendiri tahu, kan,
keselamatan kita di jalan raya itu penting. Apa gara-gara lo enggak periksain motor lo secara rutin ke
tempat service sepeda motor, terus
kita harus mengalami kejadian kayak Sisil?”
Argh...
Suasana benar-benar panas. Sudah dapat musibah motor mogok ditambah pula Hana
terus mengoceh. Bisa kebakaran hati kalau Fian terus membiarkan keadaan seperti
ini. Buru-buru Fian mengalihkan perhatiannya dengan membuka jok sepeda motor. Berusaha
memperbaiki sendiri sepeda motornya sebelum menelepon keluarganya atau orang-orang
bengkel yang dikenalnya.
“Hai Men, apa yang bisa kita bantu?”
sebuah suara dari arah belakang punggungnya membuat Fian terperanjat. Begitu menoleh
ke belakang, rasanya dia ingin buru-buru mengajak Hana meninggalkan tempat ini.
Tapi, bagaimana caranya? Sepeda motornya sedang mogok, sama sekali tak dapat
digunakan.
“Sini
gue bantu lo.” Tanpa berbasa-basi lagi, David dan gengnya mengacak-acak seisi sepeda
motor Fian. Sementara pemiliknya hanya melongo bingung. Fian baru sadar begitu
David memintanya men-starter.
Dalam
hati, Fian sangat takjub menyaksikan hasil kerja David dan gengnya. Hanya memerlukan
waktu beberapa menit saja spare part sepeda
motor yang tadi diubrak-abrik telah kembali ke posisi semula. Dan motor pun
dapat menyala dipergunakan.
“Bagaimana?”
David mengacungkan jempolnya. “Sudah OK, kan?”
“Iya,
OK,” angguk Fian. “Thanks, Dav dan
semuanya.”
“Ah,
ini sih biasa saja,” aku David sambil memalingkan wajahnya ke arah Hana. “Oya
Han, gue dan semua teman gue dukung semua rencana lo untuk bikin Komunitas
Pengendara Bijak. Cuma ya saran gue, lo harus cari nama yang enak didenger buat komunitas itu. Gimana kalau
besok kita bahas masalah ini bareng-bareng?”
Hana
sempat salah tingkah melihat David menatapnya lekat. Apalagi, Fian pun seakan
tak mau kalah. Fian terus mengamati wajah Hana. Tentu saja membuat Hana menjadi
canggung mengeluarkan kata-katanya.
“OK
David. Sampai ketemu besok di sekolah,” ucap Hana agak ragu.
David
bersama geng motornya pun pergi melanjutkan perjalanan. Begitupun Fian dan
Hana. Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit, tempat Sisil
dirawat. Sepanjang perjalanan keduanya saling diam. Hingga mereka berdua tiba
di dalam ruangan tempat Sisil di rawat, keduanya baru saling mengeluarkan
suara.
Tanpa
Hana sadari, Fian mulai mengerti kenapa 2 hari ini ceweknya itu selalu
berdekatan dengan David and the gank.
Hana ingin membuat komunitas untuk keselamatan pengendara sepeda motor. Hana
ingin sekali supaya siapapun, termasuk teman-temannya di sekolah selalu tertib
berkendaraan di jalan raya. Ya, dan secara tidak langsung Hana pernah
menceritakannya kepada Fian. Tapi, Fian kurang peduli. Baru setelah Hana
berdekatan dengan David, Fian mulai mengerti kalau orang pertama yang tepat
untuk diajak berubah di sekolah adalah David sebagai kepala geng motor. Kalau David
sudah berubah dan menyetujui permintaan Hana, maka tentu saja kawan-kawannya David
pun akan mudah dipengaruhi.
Dalam
ruangan khusus penuh peralatan canggih, tubuh Sisil penuh dengan lilitan
selang. Air mata Hana bercucuran. Ruangan khusus itu tidak bisa dikunjungi
sembarangan orang. Dalam ruangan itu hanya boleh 2 orang penjenguk. Dan di
ruangan tempat Sisil terbaringlah, semua rahasia Hana terbuka. Membuat Fian sangat
takjub dengan kepribadian Hana.
“Apa
salah kalau gue mengikuti kata hati?” Hana memulai pembicaraan. “Seorang
sahabat gue sekarang terbaring lemah tanpa daya karena kecelakaan di jalan
raya. Apa gue mesti cuek membiarkan orang lain di sekitar gue mengalami hal
serupa Sisil?”
“Gue
sekarang ngerti kenapa lo deketin David
and the gank, Han. Gue minta maaf karena sudah salah sangka dan salah
menilai lo. Sekarang gue ngerti kalau lo benar-benar peduli sama semua orang.
Gue ngerti lo berusaha menghilangkan semua kesedihan lo.”
“Gue
enggak peduli ello atau teman-teman di sekolah nantinya mengatakan hal buruk
tentang gue. Tapi satu hal yang gue ngerti sejak Sisil mendapat musibah
kecelakaan di jalan raya, gue harus lebih peduli sama sesama gue. Gue harus
berbuat kebaikan lebih banyak, gue harus bertindak lebih baik dari sebelumnya.”
Fian
tersenyum haru. Sejujurnya dia sempat terpengaruh pengaduan Delya, namun
sekarang dia mengerti semua tentang harapan Hana. Mungkin, orang lain tidak
mengerti ketulusan Hana, tapi mulai detik ini Fian bertekad untuk terus
mendukung perjuangan Hana mewujudkan impiannya supaya semua pengendara tertib di jalan raya.
Dan satu hal yang kini bisa Fian
rasakan bersama Hana dalam ruangan tempat Sisil dirawat di bawah pengawasan
dokter, kini kesedihan tengah menggelayuti Hana. Kesedihan yang dapat Fian
rasakan terbungkus rapi dalam tekad kuat untuk merubah keadaan. Kesedihan bukan untuk membuat terlarut dalam duka dan derita. Tapi, kesedihan ini harus membuat kita bersemangat melakukan sesuatu yang berarti untuk orang-orang terdekat.
I love you, Hana, bisik pelan batin Fian yang tak
terucap di hadapan Hana karena Fian benar-benar tahu kalau Hana tak pernah
menyukai hal berbau lebay.
***
Blog post ini dibuat
dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst
Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak.
Akan saya respon secepatnya.
Terima kasih sudah berkunjung.