Rabu, 23 Januari 2013

Tips Memilih Judul yang Tepat


Copas dari grup PBA
Tips Memilih Judul yang Tepat
By Ary Nilandari in Komunitas Penulis-Bacaan-Anak
Siapa bilang judul itu perkara mudah? Judul adalah unsur pertama untuk menarik minat pembaca. Terkadang susah menemukan yang klik. Perlu uji coba, perlu pengkajian ulang, perlu dilafalkan, perlu disearch and research. Beberapa kiat di bawah ini setidaknya bisa membantu, walaupun tidak selalu, karena "pas" itu juga relatif.
  1. Judul harus menggambarkan isi buku, ya iyalah. Bete amat pembaca kalau judul ibarat panggang jauh dari api (eh, kebalik nggak?). Pembaca akan merasa tertipu.
  2. Judul harus mudah diingat dan berkesan. Langsung menggaet mata dan hati. Rasanya kalau ada judul seperti ini: 10 Cara Mudah Menjadi Ibu yang Baik bagi Anak Anda (ehem, kayaknya aku nggak akan beli, karena yakin yang nulis nggak pernah jadi ibu atau yang nulis bapak-bapak)
  3.  Buatlah daftar calon judul sebanyak mungkin, dan pilih salah satu yang paling sreg. Lalu coba dilafalkan. Bayangkan Anda menyebutkan judul itu di depan orang lain. Apa yang Anda rasakan? Apakah judul itu membuat Anda bangga, malu, konyol, atau terlalu berat membebani pundak Anda, karena Anda tahu orang akan berharap banyak dari buku Anda?
  4. Mintalah saran orang lain. Soulmate yang bisa mengkritik objektif.
  5. Ingatlah target pembaca Anda. Untuk siapa buku itu ditulis? Akan menarikkah judul itu untuk mereka? Jangan-jangan Anda salah sasaran. Misalnya, buku untuk anak tetapi dijuduli sesuatu yang hanya akan menarik perhatian orangtua. Di satu sisi, mungkin orangtua tertarik membelikannya buat anak. Tapi akan tertarikkah anak membacanya? Idealnya, judul menarik minat siapa pun. Ya kan?
  6. Cobalah browse Internet, sudah adakah judul serupa, mirip-mirip, atau senada? Kalau ya, carilah yang lain.
  7. Kecuali Anda penulis eksentrik kayak Paul Jennings yang bisa membuat judul panjaaaaaang tapi tetap menarik, buatlah judul maksimal 5 kata. Kalau kurang, buatlah subjudul.
  8. Jangan latah. Be yourself. Anda penulis berkarakter. Jangan hanya karena ada judul yang lagi best seller, lalu judul Anda dimirip-miripkan. Apa pun alasannya, jangan merendahkan diri sejauh itu.
  9. Bagi penulis, mungkin suatu judul sangat klik, tapi ternyata di penerbit, editor menggantinya dengan alasan tertentu. Bersiaplah adu argumentasi, tapi pertimbangkan masukannya.
  10.  Kalau Anda hendak menjuduli buku dengan nama tokoh, pastikan nama tokoh itu menarik, bukan nama pasaran. Bisa saja sih nama biasa-biasa saja kalau ada subjudul yang justru menguatkan kesan ordinary-nya itu. Bayangkan ada novel baru berjudul satu kata: Amir, Budi, atau Wati. Hei, bukan berarti tokohnya nggak boleh pake nama-nama itu ya. Cuma pertimbangkan saja kalau untuk judul. Kesannya males amat bikin judul.
  11. Judul berima boleh juga, tapi jangan memaksakan.  
  12. Bagaimana dengan judul bahasa asing? Boleh saja asalkan relevan, punya alasan kuat, dan memang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Dan cek lagi isi buku Anda, apakah bahasa asing itu digunakan juga di dalam? Atau cuma untuk judul sebagai strategi marketing? Kalau aku sih, akan memilih mendahulukan bahasa Indonesia.  
  13. That's it. Your work is your baby, you name it, dan terima konsekuensinya. Belajarlah dari pengalaman, and be smart next time.
Nah... setelah sekian lama, akhirnya aku bisa nulis artikel lagi di doc.
Salam kreatif.
 

Ary

Jejak Hilangnya Komputer di Sekolah



Agak awal datang ke sekolah. Langsung naik ke atas, lantai dua, Rombel 1, kelas 1 SDLB-B dan kelas 2 SDLB-B. Tanpa berkeliling pandang langsung turun lagi ke lantai bawah. Berinteraksi bersama siswa, bersih-bersih halaman dan lain-lain.
Betapa terkejutnya ketika seorang guru memanggil namaku. Ia bertanya, “Komputer di atas ke mana?”
Aku menggelengkan kepala, “Nggak tahu, Pak. Siapa tahu ada di ruangan kantor?”
Tanpa berlama-lama, kami mengecek ruangan kantor. Komputer kelas atas tetap tidak ketemu. Kita pun berkeliling ke semua ruangan di sekolah. Hasilnya nihil. Komputer raib. Tidak bisa ditemukan.
Setelah kepala sekolah dan guru-guru berkumpul, investigasi pun dijalankan. Semua mengamati kemungkinan bagaimana seorang pencuri bisa masuk ke sekolah.
Berdasarkan dugaan sementara, dari jejak kotoran dan tapak kaki, kita tahu bagaimana pencuri itu bisa menggondol komputer bersama CPU-nya. Dugaannya, pencuri naik melalui atap sekolah. Pinggiran genting menyambung ke kelas atas. Parahnya, pinggiran genting tersebut langsung tersambung dengan pintu kelas atas.
Dugaan terus berlanjut. Hal yang tak kuduga. Waktu aku memasuki Rombel 1, aku tak memerhatikan hal ini. Hingga guru-guru menunjukkan jejak kaki menaiki meja guru yang terhubung ke jendela. Kemudian, kotoran dan jejak kaki di jendela dari kaca.
Ampun! Aku memegangi kepalaku. Betapa mudahnya akses pencuri mengambil barang milik sekolah. Padahal, settingan kelas itu dimaksudkan untuk mempermudah aku mengajar. Meja yang kusimpan di pojok dekat jendela supaya ruangan terlihat luas. Dan, anak-anak lebih leluasa menggunakan ruangan.
Kehilangan satu unit komputer di sekolah meninggalkan jejak yang nempel terus di kepalaku. Betapa tega pengambilnya. Apa mereka nggak mikir? Barang yang mereka ambil itu fasilitas umum. Sarana belajar bagi anak-anak berkemampuan khusus.
Pengamatan berlanjut ke luar jendela. Di atas atap basah berlumut terdapat beberapa jejak kaki. Jejak pencuri yang membekas di otak dan pikiranku. Karena pencurian terjadi bukan hanya di sekolahku saja. Sudah beberapa teman guru dari sekolah lain menceritakan kehilangan komputer dan perlengkapan di sekolah mereka.
Bahkan, dalam waktu seminggu ini aku mendengar cerita serupa berupa kehilangan. Bukan hanya tentang kehilangan komputer atau notebook saja. Motor yang cukup jelas terlihat pandangan mata pun bisa hilang.
Aku menyayangkan mereka yang tidak mau melaporkan kehilangan benda milik mereka. Bagaimana aparat keamanan mau melacaknya jika tidak ada laporan secara resmi?
Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan pemikiran mereka. Ada yang bilang, kalau urusan dengan polisi itu ribet. Harus lapor, begini terus begitu. Memakan waktu lama. Sudah ketemunya lama, kalau ketemu harus nebus barangnya dengan sejumlah uang, dengan alasan biaya penyelidikan.
Duh, duh, duh... begitu ya alurnya? Ribet plus melelahkan hati dan juga pikiran. Ternyata, lebih baik menjaga barang milik kita secara maksimal, daripada harus kehilangan yang meninggalkan jejak menyakitkan. Selain itu, muncul banyak kekhawatiran jadinya. Rasanya kurang nyaman saat meninggalkan tas pada jam istirahat.

Tabrakan Mobil dan Sepeda Butut



Saat aku melangkahkan kaki ke luar rumahku, udara terasa agak panas. Tumben, menjelang akhir Januari ini matahari pagi terik memancarkan panasnya. Padahal masih sekitar pukul tujuh pagi. Biasanya, aku berangkat berteman rinai hujan. Malah, nggak nanggung. Di pertengahan Januari 2013 ini aku sering berangkat pagi beratapkan payung karena hujan deras. So, pagi ini sangat berbeda.
Januari cerah, semoga bisa mencerahkan mereka yang kini menjadi korban banjir. Katanya, banjir ini banjir terbesar sepanjang tahun setelah banjir tahun 2002. Jakarta terendam. Bahkan, katanya Bundaran HI dan juga Istana Presiden kena imbasnya. (Aduh, jadi nglantur).
Di tengah perjalanan pagi ini, di depan mataku kulihat anak bersepeda pelan keluar dari gang sempit. Gang itu hanya cukup untuk lewat sebuah sepeda motor. Dan di depan gang itu melintas sebuah mobil berwarna silver. Sudah bisa menduganya, bukan? Mobil menabrak sepeda yang dikendarai anak kelas tiga. Sepeda itu terpental bersama si anak.
Penghuni rumah kumuh di daerah tersebut berhamburan mendekati tempat kejadian. Beberapa warga ada yang menyaksikan secara langsung kejadian itu dari awal. Tentu, mereka bisa menilai siapa yang berhak disalahkan jika masalah ini berkelanjutan.
Namun, bukan itu masalahnya buatku. Melihat kejadian itu aku langsung mengamati tindak tanduk pengendaranya. Pengemudi keluar dari dalam mobil. Masya Allah, saat ia keluar dari mobil, hal yang pertama menjadi perhatiannya adalah mobil bagian depan. Hatiku mengguman, “Di mana empati tuh pengendara? Mengapa mobilnya yang didahulukan untuk dilihat?”
Setelah ia berteriak kepada temannya di dalam mobil, bahwa mobilnya baik-baik saja, baru ia mengamati pengendara sepeda beserta sepedanya. Sekilas, kulihat mimik wajah pengendara terkaget-kaget. Ntah takut terhadap penduduk yang mulai ramai, atau memang ia kaget beneran melihat sepeda di hadapannya.
Ia menggumam sambil mengamati sepeda di tangannya, “Sepedanya penyok. Bingkeng, lagi.”
Batinku pun ikut menggumam lagi, setelah kejadian ini kemungkinan masyarakat akan membuat polisi tidur. Dan, sebagai pengendara motor dengan intensitas tinggi, aku mengeluh dalam hati. Duh, kalau banyak polisi tidur, aku jadi tidak betah dengan jalanan di sekitarku. Bagi pengendara sepeda motor, mungkin akan mengerti alasannya...

Seorang Akhwat di Pertemuan



Membaca tentang kesehatan menarik perhatianku. Apalagi ada seminarnya. Siapa sih yang tidak  mau “menjadi dokter untuk diri sendiri dan keluarga”?. Maka, usai jam  sekolah aku pun bergegas menuju tempat seminar.
Berhubung datang terlambat, tak heran rasanya jika di hadapanku peserta sudah berkumpul. Bahkan, acara pun sudah di mulai. Aku langsung mengikuti jalannya seminar. Kusimak semua pemaparan pengisi acara.
Di sela acara seorang akhwat (panggilanku, karena dia jilbaber atau berjilbab tertutup, lebar dan berpakaian gamis) mengajakku mengobrol.
Pada peserta lain di sekitarnya ia bercerita datang bersama suaminya. Begitupun padaku, ceritanya sama. Betapa beruntungnya ia, pikirku. Bayangkan saja, aih mesranya berdua ke mana-mana. Ups... J
Waktu praktik, pembicara memberikan contoh pengobatan. Tak sengaja pandanganku tertuju kepada akhwat itu dan lelaki (ikhwan), yang katanya suaminya. Ntah mengapa kurasakan ada sesuatu yang janggal. Meski aku belum menikah, tapi rasanya aku bisa membedakan yang sudah menikan dan belum menikah.
Dalam acara tersebut kulihat ikhwannya agak menjaga jarak. Meskipun, memang dalam kegiatan tersebut lelaki dan perempuan barisannya terpisah. Namun, masih bisa saling melihat satu sama lain karena tidak ada penghalang.
Lebih dari sepuluh ibu-ibu di depan, belakang, kiri, dan kananku mengatakan mereka datang bersama suaminya. Dan, keakraban mereka sebagai pasangan itu terlihat saat mereka shalat Ashar. Mereka bercengkerama begitu dekat layaknya pasangan suami istri.
Akhwat yang bercerita sudah menikah tadi tidaklah demikian. Sebelum dan usai shalat ashar kuperhatikan ia berjauhan dengan ikhwannya. Pikirku pun hadir dan bertanya lebih hanya kepada diri sendiri. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka berjauhan? Pasti ada apa-apanya?
Setuntasnya acara aku bergegas hendak pulang. Akhwat itu turun ke lantai bawah bersamaku. Setelah kami berada di luar tempat seminar, ia memanggilku, mengajakku berbincang.  Dalam perbincangan itu terkuaklah suatu rahasia yang bisa membuat mulutku mengangan lebar andai tak sadar.
Astaga! Ampun! Ia bilang ia belum menikah. Lelaki yang ia tunjukkan tadi insya Allah memang calon suaminya. Bleuk... Ah, bodohnya daku, mengapa aku harus berpikiran seperti tadi. Kupikir mereka pasangan berbahagia. Uh, ternyata mereka belum menikah. J
Sang akhwat terus bercerita. Ia sengaja berbohong karena takut. Menurutku, mungkin lebih ke arah khawatir. Kebanyakan peserta seminar jilbaber. Termasuk ia. Dari pakaiannya saja sudah beda jauh denganku. Aku memakai jilbab yang ditalikan ke belakang di leherku. Kalau ia, beuh... asli, jilbabnya lebar menutupi pakaiannya yang serba lebar juga.
Percakapan kami ditutup dengan saling bertukar alamat di dunia maya. Katanya, ia ingin tetap berkomunikasi denganku. Mungkin, ia hanya ingin punya teman sharing, pikirku. Bukahkah manusia Indonesia jumlahnya banyak. Apalagi ia penyuka hal berbau Japanesse. Bahkan bahasa Jepangnya saja mantap saat mengajakku berbincang.
Pandangan akhirku di parkiran seminar ini terpaku pada kepulangannya. Sang ikhwan membonceng akhwat dengan motornya. Sementara aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Saat akhwat bercerita aku hanya menyimak. Tidak mungkin di pertemuan pertamaku dengannya aku langsung mengomentari ini dan itu.
Di dalam angkutan umum yang mengantarkan kepulanganku, aku lebih banyak ber-kontemplasi. Haruskah membohongi orang lain dengan yang namanya pernikahan? Apa jadinya jika beberapa dari peserta kemudian tahu kebohongannya padahal ia seorang jilbaber? Apakah di setiap acara ia melakukan kebohongan demikian?
Dan, sesungguhnya aku makin bertanya kepada diriku. Seberapa banyakkah kebohonganku? L
Januari 2013

Sabtu, 19 Januari 2013

Sesuai NAMA, atau ...



Pertanyaan ini tidak hanya datang sekarang saja. Mungkin kalau ada kejadian serupa, tanya ini akan hadir kembali. Mengingatnya saja perutku bisa mual mendadak. Sekarang saja yang ingin kutulis. Lainnya, ntahlah, mungkin kutuangkan ke dalam tulisan, atau mungkin akan kuabaikan.
Pikir punya pikir hingga tak ada habisnya. Aku berkaca pada diri. Seorang bawahan melihat kinerja sekelompok atasan. Atasan biasanya dijadikan cermin. Begitu, kan, katanya. Lantas, bagaimana aku bisa bercermin dengan jernih jika sekelompok atasan kuanggap tak dapat dijadikan cermin. Aih, cerminku BURAM!
Duit memang sensitif. Gara-gara duit, seseorang bisa melakukan apa saja. Ok, sudah menjadi rahasia umum. Bukan di rahasia umum masalahnya. Ketika ada NAMA yang berhak mendapat duit, lantas sekelompok atasan itu mengambil hak atas NAMA tanpa izin, kemudian membagikan duit itu kepada orang yang dianggap mereka berhak, well... bagaimana menurutmu?
Sorry, Dir! Ibarat kata, NAMA memiliki sertifikat tanah atas namanya. Kelompok atasan itu mengambil alih penggunaan tanah tanpa membicarakan kepada NAMA. Sudah bisa menebak bukan bagaimana perasaan NAMA?
Duhai sekelompok pemimpin, tidak bisakah mengajak NAMA berbicara dari hati ke hati. Apa salahnya ngomong dulu kepada NAMA. Sebagai seorang Gue yang mengenal NAMA, Gue yakin NAMA punya hati untuk berbagi.
Sadar nggak sih, kalau atasan melakukan “kekerasan secara lembut”, mereka sudah memberikan contoh negatif. Ya, meskipun mereka bisa berdalih ini atau itu. Tapi, haruskah bawahan Cuma manggut-manggut doang. Mana yang namanya “demokrasi”....
#Hanya berbagi cerita tanpa maksud lain.
Bandung, Januari 2013

Bersatu Memandirikan Anak Luar Biasa

  Sebelum adanya pandemi COVID-19, setiap hari Selasa, mulai pukul 11.00 WIB hingga selesai, peserta didik SLB B Sukapura kelas tinggi, sebu...